THARIQAH
1. Pengertian
Thariqah
Secara etimologi, kata
tarekat adalah berasal dari bahasa Arab Thariqah (yang bentuk jama’nya
menjadi thuruq atau thara’iq) yang berarti jalan atau metode atau
aliran (madzhab). Sedangkan secara terminologi, tarekat adalah jalan untuk
mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan untuk sampai (wushul)
kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh oleh seorang sufi
dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau Mursyid (guru
tarekat) tarekat masing-masing, agar berada sedekat mungkin dengan Allah SWT,
sehingga kata tarekat menjadi identik dengan tasawuf.[1]
Sedangkan tasawuf adalah
jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah. Secara hakiki ia
mengusahakan penyucian diri, yang diharapkan menghasilkan kedamaian,
kebahagiaan dan kesejukan hati. Untuk mencapai tujuan tasawuf, maka seorang
sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai dan mengendalikan hawa
nafsunya yang selalu mengajak kepada kejahatan.[2]
Sebagaimana yang
berkembang di kalangan Ulama Ahli Tasawuf, Thariqah yaitu: “ jalan atau
petunjuk dalam melaksanakan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah dan yang dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para Sahabatnya,
Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama
secara bersambung dan berantai hingga pada masa kita ini”.[3]
Saifuddin mengutip dari
Brunessen, menyatakan bahwa Tarekat merupakan fenomena keagamaan yang menarik
antara lain karena kesanggupannya menjaga kelangsungan ajarannya dari waktu ke
waktu, dari situasi ke situasi yang lain. Bahkan peran tarekat atau sufisme
sangat besar dalam penyebaran Islam di Indonesia.[4] Tarekat
tidak hanya mempunyai fungsi keagamaan saja tapi juga setiap tarekat adalah
keluarga besar, dan semua anggota-anggotanya menganggap diri mereka bersaudara
satu dengan yang lain.[5]
2.
Dasar Hukum Thariqah
Menurut penyelidikan para
Ulama ahli Thariqat yang Mu’tabarah, sebenarnya dasar hukum Thariqat dapat
dilihat dari segi-segi yang antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama : Segi
Existensi amalan Thariqat yang bertujuan hendak mencapai pelaksanaan syari’at
secara tertib dan teratur serta teguh di atas norma-norma yang semestinya
dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah : al Jin ayat 16
q©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)Ì©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap
berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi
minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”[6]
Ayat ini oleh para Ulama ahli Thariqat
dijadikan pegangan hukum dasar melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan.
Meskipun masih ada sebagian orang yang menentang dijadikannya ayat itu sebagai
dasar hukum Thariqat.
Kedua : Dari
segi materi pokok amalan Thariqat yang berupa wirid dzikrullah, baik yang
dilakukan secara Mulazamah yakni secara terus menerus, ataupun yang dilakukan
secara Mukhalafah maksudnya terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu
yang dapat membawa akibat lupa kepada Allah[7].
Hal ini sesuai dengan firman Allah : al-Ahzab Ayat 41-42.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0ø$# ©!$# #[ø.Ï #ZÏVx. ÇÍÊÈ çnqßsÎm7yur Zotõ3ç/ ¸xϹr&ur ÇÍËÈ
“Hai
orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang
sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”.[8]
Melihat bunyi ayat ini,
maka jelas bahwa Allah telah memerintahkan kepada sekalian orang yang beriman
untuk tetap senantiasa berdzikir dan bertasbih dengan menyebut nama “Allah”
baik dilakukan pada waktu pagi atau petang, siang dan malam.
Ketiga : Dari segi sasaran pokok
yang hendak dicapai dalam mengamalkan Thariqat yakni terwujudnya rasa manunggal
antara hamba dengan Allah lantaran
ketekunan dan keikhlasan dalam menjalankan syari’at-Nya secara utuh dan terasa
indah oleh pantulan sinar cahaya Allah. Sebagaimana
diterangkan di dalam Hadits Nabi saw.
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه
وسلم بارزا يوما للناس فأتاه زجل فقال: ما الإيمان ؟ قال: الإيمان أن تؤمن بالله
وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث.قال: ماالإسلام؟ قال: الإسلام أن تعبدالله
ولا تش ك به شيئا و تقيم الصلاة وتؤدى الزكاة المفروضة وتصوم رمضان. قال:
ماالإحسان؟ قال: أن تعبدالله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك. (رواه البخارى).
“
Diriwayatkan dari Abi Hurairah berkata bahwa pada suatu hari Nabi berada di
tengah-tengah sekelompok orang banyak tiba-tiba ada seoarang laki-laki (Jibril)
datang kepadanya seraya bertanya: Apakah Iman itu? Nabi menjawab: Iman ialah
Kamu percaya adanya Allah, dan percaya kepada Malaikat-Nya, percaya akan
bertemu Allah di hari akhirat, percaya terhadap para Rasul-Nya dan percaya
kepada adanya hari kebangkitan. Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi
kepada Nabi : Apakah Islam itu ? jawab Nabi : Islam ialah menyembah kepada
Allah dan jangan menyekutukan-Nya, mengerjakan shalat (fadlu), menunaikan
zakat, berpuasa Ramadlon. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi kepada diri Nabi
? Apakah Ikhsan itu? Jawab Nabi: Ikhsan yaitu keadaan engkau menyembah Allah
seakan-akan engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka Allah
melihat engkau” (H R. Bukhari).[9]
Dalam Hadits ini dapat
dipahami adanya beberapa pengertian bahwa kehidupan agama dalam jiwa seseorang
akan menjadi sempurna jika dapat dikumpulkan tiga faktor pokok yang sangat
menentukan, yaitu Iman, Islam, dan Ikhsan. Masing-masing
dapat dicapai lantaran mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu
yang membicarakan masalahnya.
Iman, Islam dan Ikhsan, ketiganya berkaitan
erat mencapai sasaran pokok yakni “mengenal
Allah untuk diyakini”. Hal ini menuntut terwujudnya sikap tindak perbuatan
nyata dalam hidup ini, segala bukti kepatuhan melaksanakan segala yang
diperintah,
dikerjakan dan yang dilarang ditinggalkan dengan penuh ikhlas karena Allah
semata disertai penuh rasa cinta terhadap-Nya. Manakala keadaan semacam ini
sudah sampai pada puncaknya maka akan tercapailah hakekat tujuan hidup yang
sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah sendiri lewat syari’at
yang dibawa Muhammad saw.[10]
3.
Thariqah
Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
a. Sejarah Singkat Thariqah Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
Nama Naqsyabandi diambil
dari nama pemimpin aliran ini, yakni Baha’ al-Din Naqsyabandi dari Bukhara
(1390). Aliran ini kemudian menyebar secara luas di Asia Tengah, Volga,
Kaukasus, Barat dan Timur daya China, Indonesia, anak benua India, Turki, Eropa
serta Amerika Utara. Aliran ini adalah satu-satunya aliran sufi yang memiliki
geneologi silsilah tranmisi “ilmu” melalui pemimpin muslim pertama yakni Abu
Bakar, bukan seperti aliran-aliran sufi lain yang memiliki geneologi melalui
pemimpin spiritual syi’ah, tentu melalui Imam Ali kemudian sampai kepada Nabi.[11]
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah
adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yang bernama lengkap Muhammad bin
Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389
M), dilahirkan di sebuah Desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara
tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik.
Ia mendapat gelar Syah yang menunjukan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin
spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi
yang menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi
ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di
Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Kulal adalah seorang
khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat
yang didirikannya.[12]
Tarekat Naqsyabandiyah
sudah dikenal di Indonesia paling tidak sejak abad ke-17, tetapi baru
benar-benar menjadi populer pada akhir abad ke-19. Cabang tarekat
Naqsyabandiyah yang pada saat itu dengan cepat menyebar ke seluruh Nusantara
adalah tarekat Khalidiyah, demikianlah tarekat tersebut dinamakan mengikuti
nama guru yang karismatik dan pembaharu
Maulana Dhiya’ Al-Din Khalid Al-Baghdadi atau Al-Kurdi, yang dengan seorang
diri mengusahakan bangkitnya kembali tarekat tersebut pada awal abad ke-19.
Khalid adalah seorang
perantara budaya Kurdi dalam coraknya yang tradisional. Seperti begitu banyak
ulama besar Kurdi lainnya, dia dilahirkan di Syahrazur, di daerah tempat
tinggal suku Jaf, pada tahun 1776 atau 1779. Dia belajar kepada para ulama
besar Kurdistan dan melakukan perjalanan ke Damaskus dan Makkah serta Madinah untuk bertemu dengan
para ulama besar pada saat itu. Mengikuti perintah yang didapatkannya melalui mimpi, dia pergi ke India untuk
belajar kepada guru tarekat Naqsyabandiyah terkemuka, ‘Abdullah Al-Dihlawi, dan
menjadi muridnya yang paling menonjol. Setelah setahun di Delhi, dia kembali ke
Barat, dengan membawa sebuah ijazah dan perintah yang eksplisit dari
gurunya untuk menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah di kesultanan Utsmani.[13]
Maulana Khalid mendorong
terjadinya dinamika dalam tarekat Naqsyabandiyyah dan menanamkan semangat
puritan dan aktivis. Tidak sedikit dari khalifahnya dan para penerus mereka
yang terjun secara aktif di lapangan politik. Kita dapati syaikh-syaikh Khalidiyah
Naqsyabandiyyah yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin politik dan bahkan
pemimpin militer. Salah seorang di antaranya adalah Syaikh Syamil dari
Daghistan, yang bertahun-tahun memimpin perjuangan melawan Rusia yang telah
menaklukan Kafkasya (akhirnya ia pun dikalahkan pada tahun 1859). Di Kurdistan,
tarekat Naqsyabandiyyah akhirnya menjadi organisasi politik yang paling kuat,
dan beberapa pemberontakan nasionalis awal yang dilancarkan kaum Kurdi dipimpin
oleh syaikh-syaikh Naqsyabandiyyah. Syaikh-syaikh Naqsyabandiyyah juga ambil
bagian dalam perlawanan terhadap pendudukan Rusia di Asia Tengah pada
penghujung abad kesembilan belas.[14]
Ciri menonjol Tarekat
Naqsyabandiyah adalah Pertama, diikutinya syariah secara ketat,
keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari,
dan lebih menyukai berzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam
memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara
pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat Naqsyabandiyah tidak
menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang
berkuasa saat itu. Sebaliknya ia melancarkan konfontrasi dengan berbagai
kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. Selain itu tarekat ini
pun membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa dan menganggap
bahwa upaya memperbaiki penguasa adalah sebagai prasyarat untuk memperbaiki
masyarakat.[15]
Hasil pengamatan yang
dilakukan banyak sarjana menunjukan bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung
mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elite politik. Contoh
klasik adalah syaikh ‘Ubaidallah Ahrar (Khwajah Ahrar, 1404-1490), khalifah
angkatan kedua dari pendiri tarekat Baha’uddin Naqsyaband. Sumber sejarah lokal
menggambarkan Khwajah Ahrar sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat
berpengaruh di istana dinasti Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang).
Jumlah muridnya banyak, dan mereka berasal dari semua lapisan masyarakat, yang
secara demikian memperkokoh bobot politiknya. Ketika pada masa suksesi terjadi
peperangan antara beberapa calon pengganti sultan, pemenangnya adalah pangeran
yang didukung oleh Khwajah Ahrar, Abu Sa’id. Syaikh kemudian tetap sebagai
guru, penasehat dan pelindung spiritual raja Abu Sa’id dan kemudian penggantinya
‘Abd Al-Lathif. Pengaruhnya dimanfaatkan, antara lain, demi Islamisasi lanjutan
pemerintahan atas desakan Khwajah Ahrarlah Abu Sa’id konon telah mengubah
beberapa aturan ‘urfi (adat) sehingga lebih sesuai dengan syariat.
Khalifah-khalifah Khwajah Ahrar berusaha memainkan peranan yang sama pada
dinasti-dinasti lokal. Bahkan ada keturunan spiritualnya yang berhasil menjadi
penguasa di Yarkand, salah satu kerajaan lokal di Asia Tengah.[16]
Tarekat ini tersebar
hampir ke seluruh provinsi yang ada di tanah air, yakni sampai ke Jawa,
Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung
Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Inilah satu-satunya
tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran
tarekat yang sedemikian luas dan diterima oleh orang-orang awam dari berbagai
latar belakang, menyebabkan timbulnya variasi lokal, yang merupakan bagian dari
tarekat ini. Walau demikian Tarekat Naqsyabandiyah masih tetap mempertahankan
watak khasnya. Pengikut tarekat Naqsyabandiyah terdiri dari berbagai lapisan
masyarakat, yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan
yang lebih tinggi.[17]
b. Ajaran Dasar Thariqah Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
Seperti tarekat-tarekat
yang lain, tarekat Naqsyabandiyyah pun mempunyai sejumlah tata cara
peribadatan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri, yaitu:
1. Asas-asas
Inti ajaran dasar Thariqah
Naqsyabandiyah terdiri dari sebelas asas sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Abdul
Khâliq Ghujdwani, sedangkan 3 asas lainnya adalah penambahan oleh Muhammad
Bahâ’ al-Dîn Naqsyabandi, sebagai berikut;
a. Hush dan dam, artinya seorang sufi haruslah sadar setiap menarik nafas,
menghembuskan nafas dan ketika berhenti sebentar diantara keduanya.
b. Nazhar bar qadam, artinya seorang murid haruslah
menjaga langkah sewaktu berjalan dan memandang ke depan sewaktu duduk agar
tujuan rohaninya tidak dikacaukan oleh
segala hal di sekelilingnya.
c. Safar dar wathan, artinya melakukan
perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai
manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.
d. Khalwat dar anjuman, artinya menyibukkan diri
dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya
sekalipun sewaktu berada dalam keramaian.
e. Yâ dakrad, artinya terus menerus mengulangi nama Allah baik dalam
hati maupun lisan agar dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah secara
permanen.
f. Bâz Gasht, artinya kembali dengan mengucapkan kalimat yang mulia Ilâhî
anta maqshûdî wa ridhaka mahlûbî (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku
memohon dan keridhaan-Mu-lah yang
kuharapkan).
g. Nigâh Dasyt, artinya waspada, dengan pengertian menjaga pikiran dan
perasaan terus menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid untuk mencegah pikiran
dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan dan untuk
memelihara pikiran serta perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat
tersebut.
h. Yâd Dasyt, artinya mengingat kembali dengan pengertian menangkap
secara langsung Dzat Allah melalui penglihatan yang diberkahi. Tahap ini hanya
dapat ditempuh oleh orang yang sudah mencapai derajat rohani tertinggi.[18]
Adapun tiga asas lainnya
yang berasal dari Syaikh Baha’ al-Din Naqsyabandi adalah:
a. Wuquf zamani, “memeriksa penggunaan waktu”, yaitu orang yang bersuluk
senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya
setiap dua atau tiga jam sekali.
b. Wuquf ‘adadi, “memeriksa hitungan zikir”, yakni dengan penuh hati-hati
(konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada zikir nafi-itsbât, 3
atau 5 samapai 21 kali.
c. Wuquf qalbi, “menjaga hati tetap terkontrol”. Kehadiran hati serta
kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara sempurna
sejalan dengan zikir dan maknanya.[19]
2. Dzikir dan wirid
Teknik dasar
Naqsyabandiyyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya adalah dzikir, yaitu
berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimah la ilaha
illallah. Tujuan latihan itu adalah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan
yang lebih langsung dan permanen. Tarekat Naqsyabandiyyah membedakan dirinya
dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi,
“tersembunyi”, atau qalbi, “dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir
keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain.
Dua dzikir dasar
Naqsyabandiyyah adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat nama Yang Haqiqi ”
dan dzikir tauhid, “mengingat keesaan”. Yang pertama terdiri dari
pengucapan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan
tasbih), sembari memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir tauhid (juga
dzikir tahlil atau dzikir nafiw wa itsbat) terdiri atas bacaan
perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimah la ilaha illallah, yang
dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh.
Dzikir yang lebih tinggi
tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan
kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas)
berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh, yaitu qalb (hati), ruh
(jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman
tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi), nafs nathiqah (akal
budi) dan lathifah ketujuh kull jasad sebetulnya tidak merupakan
titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh.[20]
Dengan memperbanyak dzikir
seseorang akan merasakan ketenangan hidup yang luar biasa, dikarenakan selalu
mengingat Dzat yang telah menciptakan manusia, dengan demikian seseorang akan
selalu menggantungkan segala urusan hidupnya hanya kepada Allah semata dan
menyadari bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang mampu memberikan pertolongan
kepada umat manusia. Sebagaimana dalam firman Allah QS ar-Ra’d ayat 28:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% Ìø.ÉÎ/ «!$# 3 wr& Ìò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
“(yaitu)
orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat
Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.[21]
Pembacaan tidaklah
berhenti pada dzikir, pembacaan aurad (tunggalnya wird) meskipun
tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau
formul-formula untuk memuja Tuhan dan/atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya
dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan
memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan
manfaat.
3. Muraqabah
Ada kategori
latihan-latihan lainnya, yang hanya diajarkan kepada murid yang tingkatannya
lebih tinggi, biasanya hanya kepada mereka yang telah menguasai dzikir pada
semua lathaif. Latihan ini disebut muraqabah, “pengendalian
diri”, ini merupakan teknik-teknik konsentrasi dan meditasi.[22]
4. Rabithah Mursyid
Rabithah adalah wasilah
yang berhubungan dengan perhatian dan kecintaan hati orang yang melakukan
Rabithah dengan yang di Rabithahi.[23]
Semua petunjuk agama dalam
segi apapun yang telah diperoleh setiap muslim yang hidup sejak zaman
Rasulullah sampai sekarang adalah diterima melalui perantaraan guru, bagi para
shahabat Nabi, pengetahuan dan petunjuk agama mereka peroleh dari gurunya yakni
Rasulullah sendiri, para Tabi’in memperoleh dari para shahabat Nabi, demikian
seterusnya sampai pada masa kita ini.
Oleh karena itu peranan
Guru Mursyid atau Syekh dalam mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam yang dibawa
Rasulullah adalah sangat menentukan sebab termasuk salah satu faktor yang
mendorong tercapainya tujuan akhir daripada melaksanakan syari’at tersebut
sesuai dengan dasar aturan yang sudah ditetapkan oleh Syar’i.
Tetapi jika seorang Islam
mengambil ilmu tidak menggunakan lantaran lewat seorang guru Mursyid atau
Syekh, maka wajar terjadi penyelewengan terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Ia
tidak merasa dirinya telah berada di dalam lingkaran kesesatan. Jadi Rabithah
dilakukan semata-mata karena Allah, sedikit pun tidak ada unsur-unsur
penyembahan kepada guru Mursyid.[24]
5. Khatm-i Khwajagan
Khatm-i Khwajagan merupakan
serangkaian wirid, ayat, shalawat, dan doa yang menutup setiap dzikir
berjama’ah. Konon ini disusun oleh ‘Abd Al-Khalq Al-Ghujdawani, dan dianggap
sebagai tiang ketiga Naqsyabandiyyah, setelah dzikir ism al-dzat dan dzikir
nafiy wa isbat. Pembacaan khatm dipercayai untuk memohon ruh-ruh para
syaikh besar dari masa lampau agar membantu mereka yang sedang berkumpul. Khatm
dibacakan di tempat yang tidak ada orang luar, dan pintu harus tertutup. Tak
seorangpun boleh ikut serta tanpa izin lebih dulu dari sang syaikh. Kecuali
itu, para peserta harus dalam keadaan berwudhu.[25]
6. Tawajjuh
Syaikh atau Mursyid
memegang peranan sangat penting demi kemajuan spiritual murid. Ikut sebuah
tarekat tanpa mempunyai seorang syaikh adalah mustahil. Sang syaikh membantu
murid-muridnya dengan berbagai cara, dengan mengajarkan langsung tetapi juga
melalui proses yang disebut tawajjuh. Istilah ini berarti “temu muka”, tetapi
dalam lingkungan Naqsyabandiyyah telah memperoleh beberapa arti khusus.
Tawajjuh merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka hatinya kepada
syaikhnya dan membayangkan hatinya itu disirami berkah sang syaikh. Sang syaikh
akhirnya membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw.[26]
7. Bai’at
Bai’at atau talqin adalah
janji setia seorang murid kepada gurunya, bahwa ia akan mengikuti apa pun yang
diperintahkan oleh sang guru, tanpa “reserve”. Silsilah adalah hubungan
nama-nama yang panjang yang menunjukan bahwa sang guru memiliki keterhubungan
langsung dengan Nabi Muhammad, melalui perantaraan guru besar tarekat tersebut.
Dengan melaksanakan baiat, maka si murid masuk dalam silsilah yang
berkesinambungan itu. Sebagai bukti ia telah masuk dalam tarekat tertentu dan
boleh mengajarkan apa yang diajarkan dalam tarekat itu.[27]
8. Khalwat atau Suluk
Suluk pada hakekatnya
adalah mengosongkan diri pribadi (jiwa) dari sifatsifat buruk (dari maksiat
lahir dan maksiat bathin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji
(dengan taat lahir dan batin).
Jadi pengertian suluk itu
pada hakekatnya bukan sekedar untuk mendapatkan nikmat dunia dan akhirat atau
untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah, atau untuk mendapatkan
sorotan Nur Cahaya dan lain-lain, sehingga pada akhirnya kelak akan dapat
mengetahui suratan-suratan nasib, semuanya itu bukan. Tetapi suluk bertujuan
semata-mata hanya untuk Allah lain tidak. Setiap ahli Tasawwuf atau Thariqat
dirinya merasa yakin akan sampai kepada Allah dengan melalui suluk itu.[28]
Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi ayat 110:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ×|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqã ¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_öt
uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ wur õ8Îô³ç Íoy$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti
kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan
seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".[29]
Berdasarkan ayat ini para
kaum sufi dan ahli thariqat sama mengerjakan amalan-amalan yang sholeh termasuk
di dalamnya adalah amalan suluk dengan cara-cara yang tertentu, antara lain
yaitu melakukannya selama 40 hari, 20 hari dan 10 hari.
[1] Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliyah...........
hlm. 11.
[2] Amin Syukur, Tasawuf Sosial........ hlm. 33.
[3] Imron Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat
(Naqsyabandiyah) (Kudus: Menara, 1980), hlm. 11.
[5] Moh. Adlin Sila, dkk., Sufi
Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern (Jakarta:
Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), hlm. 3.
[6]
Kementerian Agama RI, Al-Qur’an
Tajwid dan Terjemahnya......... hlm. 573.
[10] Ibid., hlm. 14-17.
[11]
Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang
Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 41.
[12] Sri
Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah........ hlm. 89.
[13] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan
Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm.
104.
[14] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di
Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan,
1992), hlm. 66-67.
[18] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem
Manusia Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 55-57.
[19] Sri
Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah........ hlm. 105.
[21] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya.........
hlm. 252.
[24] Ibid., hlm. 66-67.
[26] Ibid., hlm. 86.
[29] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya.........
hlm. 304