THARIQAH

1.    Pengertian Thariqah
Secara etimologi, kata tarekat adalah berasal dari bahasa Arab Thariqah (yang bentuk jama’nya menjadi thuruq atau thara’iq) yang berarti jalan atau metode atau aliran (madzhab). Sedangkan secara terminologi, tarekat adalah jalan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT dengan tujuan untuk sampai (wushul) kepada-Nya. Tarekat merupakan metode yang harus ditempuh oleh seorang sufi dengan aturan-aturan tertentu sesuai dengan petunjuk guru atau Mursyid (guru tarekat) tarekat masing-masing, agar berada sedekat mungkin dengan Allah SWT, sehingga kata tarekat menjadi identik dengan tasawuf.[1]
Sedangkan tasawuf adalah jalan mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ibadah. Secara hakiki ia mengusahakan penyucian diri, yang diharapkan menghasilkan kedamaian, kebahagiaan dan kesejukan hati. Untuk mencapai tujuan tasawuf, maka seorang sufi berusaha semaksimal mungkin untuk menguasai dan mengendalikan hawa nafsunya yang selalu mengajak kepada kejahatan.[2]
Sebagaimana yang berkembang di kalangan Ulama Ahli Tasawuf, Thariqah yaitu: “ jalan atau petunjuk dalam melaksanakan sesuatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah dan yang dicontohkan beliau serta dikerjakan oleh para Sahabatnya, Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus turun temurun sampai kepada guru-guru, ulama-ulama secara bersambung dan berantai hingga pada masa kita ini”.[3] 
Saifuddin mengutip dari Brunessen, menyatakan bahwa Tarekat merupakan fenomena keagamaan yang menarik antara lain karena kesanggupannya menjaga kelangsungan ajarannya dari waktu ke waktu, dari situasi ke situasi yang lain. Bahkan peran tarekat atau sufisme sangat besar dalam penyebaran Islam di Indonesia.[4] Tarekat tidak hanya mempunyai fungsi keagamaan saja tapi juga setiap tarekat adalah keluarga besar, dan semua anggota-anggotanya menganggap diri mereka bersaudara satu dengan yang lain.[5]
2.         Dasar Hukum Thariqah
Menurut penyelidikan para Ulama ahli Thariqat yang Mu’tabarah, sebenarnya dasar hukum Thariqat dapat dilihat dari segi-segi yang antara lain adalah sebagai berikut:
Pertama : Segi Existensi amalan Thariqat yang bertujuan hendak mencapai pelaksanaan syari’at secara tertib dan teratur serta teguh di atas norma-norma yang semestinya dikehendaki oleh Allah dan Rasul-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah : al Jin ayat 16
q©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ
“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak).”[6]

Ayat ini oleh para Ulama ahli Thariqat dijadikan pegangan hukum dasar melaksanakan amalan-amalan yang diajarkan. Meskipun masih ada sebagian orang yang menentang dijadikannya ayat itu sebagai dasar hukum Thariqat. 
Kedua : Dari segi materi pokok amalan Thariqat yang berupa wirid dzikrullah, baik yang dilakukan secara Mulazamah yakni secara terus menerus, ataupun yang dilakukan secara Mukhalafah maksudnya terus menerus menghindarkan diri dari segala sesuatu yang dapat membawa akibat lupa kepada Allah[7]. Hal ini sesuai dengan firman Allah : al-Ahzab Ayat 41-42.
$pkšr'¯»tƒ tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä (#râè0øŒ$# ©!$# #[ø.ÏŒ #ZŽÏVx. ÇÍÊÈ çnqßsÎm7yur Zotõ3ç/ ¸xϹr&ur ÇÍËÈ
“Hai orang-orang yang beriman, berzdikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepada-Nya diwaktu pagi dan petang”.[8]

Melihat bunyi ayat ini, maka jelas bahwa Allah telah memerintahkan kepada sekalian orang yang beriman untuk tetap senantiasa berdzikir dan bertasbih dengan menyebut nama “Allah” baik dilakukan pada waktu pagi atau petang, siang dan malam.
Ketiga : Dari segi sasaran pokok yang hendak dicapai dalam mengamalkan Thariqat yakni terwujudnya rasa manunggal antara  hamba dengan Allah lantaran ketekunan dan keikhlasan dalam menjalankan syari’at-Nya secara utuh dan terasa indah oleh pantulan sinar cahaya Allah. Sebagaimana diterangkan di dalam Hadits Nabi saw.
عن أبى هريرة رضى الله عنه قال: كان النبي صلى الله عليه وسلم بارزا يوما للناس فأتاه زجل فقال: ما الإيمان ؟ قال: الإيمان أن تؤمن بالله وملائكته وبلقائه ورسله وتؤمن بالبعث.قال: ماالإسلام؟ قال: الإسلام أن تعبدالله ولا تش ك به شيئا و تقيم الصلاة وتؤدى الزكاة المفروضة وتصوم رمضان. قال: ماالإحسان؟ قال: أن تعبدالله كأنك تراه فإن لم تكن تراه فإنه يراك. (رواه البخارى).
 “ Diriwayatkan dari Abi Hurairah berkata bahwa pada suatu hari Nabi berada di tengah-tengah sekelompok orang banyak tiba-tiba ada seoarang laki-laki (Jibril) datang kepadanya seraya bertanya: Apakah Iman itu? Nabi menjawab: Iman ialah Kamu percaya adanya Allah, dan percaya kepada Malaikat-Nya, percaya akan bertemu Allah di hari akhirat, percaya terhadap para Rasul-Nya dan percaya kepada adanya hari kebangkitan. Selanjutnya laki-laki tersebut bertanya lagi kepada Nabi : Apakah Islam itu ? jawab Nabi : Islam ialah menyembah kepada Allah dan jangan menyekutukan-Nya, mengerjakan shalat (fadlu), menunaikan zakat, berpuasa Ramadlon. Kemudian laki-laki itu bertanya lagi kepada diri Nabi ? Apakah Ikhsan itu? Jawab Nabi: Ikhsan yaitu keadaan engkau menyembah Allah seakan-akan engkau melihat-Nya, sekiranya engkau tidak melihat-Nya maka Allah melihat engkau” (H R. Bukhari).[9]

Dalam Hadits ini dapat dipahami adanya beberapa pengertian bahwa kehidupan agama dalam jiwa seseorang akan menjadi sempurna jika dapat dikumpulkan tiga faktor pokok yang sangat menentukan, yaitu Iman, Islam, dan Ikhsan. Masing-masing dapat dicapai lantaran mempelajari dan memahami serta mengamalkan ilmu-ilmu yang membicarakan masalahnya.
Iman, Islam dan Ikhsan, ketiganya berkaitan erat mencapai sasaran pokok yakni “mengenal Allah untuk diyakini”. Hal ini menuntut terwujudnya sikap tindak perbuatan nyata dalam hidup ini, segala bukti kepatuhan melaksanakan segala yang diperintah, dikerjakan dan yang dilarang ditinggalkan dengan penuh ikhlas karena Allah semata disertai penuh rasa cinta terhadap-Nya. Manakala keadaan semacam ini sudah sampai pada puncaknya maka akan tercapailah hakekat tujuan hidup yang sebenarnya sesuai dengan yang dikehendaki oleh Allah sendiri lewat syari’at yang dibawa Muhammad saw.[10]
3.         Thariqah Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
a.    Sejarah Singkat Thariqah Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
Nama Naqsyabandi diambil dari nama pemimpin aliran ini, yakni Baha’ al-Din Naqsyabandi dari Bukhara (1390). Aliran ini kemudian menyebar secara luas di Asia Tengah, Volga, Kaukasus, Barat dan Timur daya China, Indonesia, anak benua India, Turki, Eropa serta Amerika Utara. Aliran ini adalah satu-satunya aliran sufi yang memiliki geneologi silsilah tranmisi “ilmu” melalui pemimpin muslim pertama yakni Abu Bakar, bukan seperti aliran-aliran sufi lain yang memiliki geneologi melalui pemimpin spiritual syi’ah, tentu melalui Imam Ali kemudian sampai kepada Nabi.[11]
Pendiri tarekat Naqsyabandiyah adalah seorang pemuka tasawuf terkenal yang bernama lengkap Muhammad bin Muhammad Baha’ al-Din al-Uwaisi al-Bukhari Naqsyabandi (717 H/1318 M-791 H/1389 M), dilahirkan di sebuah Desa Qashrul Arifah, kurang lebih 4 mil dari Bukhara tempat lahir Imam Bukhari. Ia berasal dari keluarga dan lingkungan yang baik. Ia mendapat gelar Syah yang menunjukan posisinya yang penting sebagai seorang pemimpin spiritual. Setelah ia lahir segera dibawa oleh ayahnya kepada Baba al-Samasi yang menerimanya dengan gembira. Ia belajar tasawuf kepada Baba al-Samasi ketika berusia 18 tahun. Kemudian ia belajar ilmu tarekat pada seorang quthb di Nasaf, yaitu Amir Sayyid Kulal al-Bukhari (w. 772/1371). Kulal adalah seorang khalifah Muhammad Baba al-Samasi. Dari Kulal inilah ia pertama belajar tarekat yang didirikannya.[12]
Tarekat Naqsyabandiyah sudah dikenal di Indonesia paling tidak sejak abad ke-17, tetapi baru benar-benar menjadi populer pada akhir abad ke-19. Cabang tarekat Naqsyabandiyah yang pada saat itu dengan cepat menyebar ke seluruh Nusantara adalah tarekat Khalidiyah, demikianlah tarekat tersebut dinamakan mengikuti nama guru yang karismatik  dan pembaharu Maulana Dhiya’ Al-Din Khalid Al-Baghdadi atau Al-Kurdi, yang dengan seorang diri mengusahakan bangkitnya kembali tarekat tersebut pada awal abad ke-19.
Khalid adalah seorang perantara budaya Kurdi dalam coraknya yang tradisional. Seperti begitu banyak ulama besar Kurdi lainnya, dia dilahirkan di Syahrazur, di daerah tempat tinggal suku Jaf, pada tahun 1776 atau 1779. Dia belajar kepada para ulama besar Kurdistan dan melakukan perjalanan ke Damaskus  dan Makkah serta Madinah untuk bertemu dengan para ulama besar pada saat itu. Mengikuti perintah yang didapatkannya  melalui mimpi, dia pergi ke India untuk belajar kepada guru tarekat Naqsyabandiyah terkemuka, ‘Abdullah Al-Dihlawi, dan menjadi muridnya yang paling menonjol. Setelah setahun di Delhi, dia kembali ke Barat, dengan membawa sebuah ijazah dan perintah yang eksplisit dari gurunya untuk menyebarkan tarekat Naqsyabandiyah di kesultanan Utsmani.[13]
Maulana Khalid mendorong terjadinya dinamika dalam tarekat Naqsyabandiyyah dan menanamkan semangat puritan dan aktivis. Tidak sedikit dari khalifahnya dan para penerus mereka yang terjun secara aktif di lapangan politik. Kita dapati syaikh-syaikh Khalidiyah Naqsyabandiyyah yang berperan sebagai pemimpin-pemimpin politik dan bahkan pemimpin militer. Salah seorang di antaranya adalah Syaikh Syamil dari Daghistan, yang bertahun-tahun memimpin perjuangan melawan Rusia yang telah menaklukan Kafkasya (akhirnya ia pun dikalahkan pada tahun 1859). Di Kurdistan, tarekat Naqsyabandiyyah akhirnya menjadi organisasi politik yang paling kuat, dan beberapa pemberontakan nasionalis awal yang dilancarkan kaum Kurdi dipimpin oleh syaikh-syaikh Naqsyabandiyyah. Syaikh-syaikh Naqsyabandiyyah juga ambil bagian dalam perlawanan terhadap pendudukan Rusia di Asia Tengah pada penghujung abad kesembilan belas.[14]  
Ciri menonjol Tarekat Naqsyabandiyah adalah Pertama, diikutinya syariah secara ketat, keseriusan dalam beribadah yang menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, dan lebih menyukai berzikir dalam hati. Kedua, upaya yang serius dalam memengaruhi kehidupan dan pemikiran golongan penguasa serta mendekatkan negara pada agama. Berbeda dengan tarekat lainnya, tarekat Naqsyabandiyah tidak menganut kebijaksanaan isolasi diri dalam menghadapi pemerintahan yang sedang berkuasa saat itu. Sebaliknya ia melancarkan konfontrasi dengan berbagai kekuatan politik agar dapat mengubah pandangan mereka. Selain itu tarekat ini pun membebankan tanggung jawab yang sama kepada para penguasa dan menganggap bahwa upaya memperbaiki penguasa adalah sebagai prasyarat untuk memperbaiki masyarakat.[15]
Hasil pengamatan yang dilakukan banyak sarjana menunjukan bahwa syaikh-syaikh tarekat ini cenderung mendekati penguasa dan mencari pengikut di kalangan elite politik. Contoh klasik adalah syaikh ‘Ubaidallah Ahrar (Khwajah Ahrar, 1404-1490), khalifah angkatan kedua dari pendiri tarekat Baha’uddin Naqsyaband. Sumber sejarah lokal menggambarkan Khwajah Ahrar sebagai seorang syaikh yang kaya raya dan sangat berpengaruh di istana dinasti Timurid di Herat (di Afghanistan sekarang). Jumlah muridnya banyak, dan mereka berasal dari semua lapisan masyarakat, yang secara demikian memperkokoh bobot politiknya. Ketika pada masa suksesi terjadi peperangan antara beberapa calon pengganti sultan, pemenangnya adalah pangeran yang didukung oleh Khwajah Ahrar, Abu Sa’id. Syaikh kemudian tetap sebagai guru, penasehat dan pelindung spiritual raja Abu Sa’id dan kemudian penggantinya ‘Abd Al-Lathif. Pengaruhnya dimanfaatkan, antara lain, demi Islamisasi lanjutan pemerintahan atas desakan Khwajah Ahrarlah Abu Sa’id konon telah mengubah beberapa aturan ‘urfi (adat) sehingga lebih sesuai dengan syariat. Khalifah-khalifah Khwajah Ahrar berusaha memainkan peranan yang sama pada dinasti-dinasti lokal. Bahkan ada keturunan spiritualnya yang berhasil menjadi penguasa di Yarkand, salah satu kerajaan lokal di Asia Tengah.[16]
Tarekat ini tersebar hampir ke seluruh provinsi yang ada di tanah air, yakni sampai ke Jawa, Sulawesi Selatan, Lombok, Madura, Kalimantan Selatan, Sumatra, Semenanjung Malaya, Kalimantan Barat, dan daerah-daerah lainnya. Inilah satu-satunya tarekat yang terwakili di semua provinsi yang berpenduduk mayoritas muslim. Penyebaran tarekat yang sedemikian luas dan diterima oleh orang-orang awam dari berbagai latar belakang, menyebabkan timbulnya variasi lokal, yang merupakan bagian dari tarekat ini. Walau demikian Tarekat Naqsyabandiyah masih tetap mempertahankan watak khasnya. Pengikut tarekat Naqsyabandiyah terdiri dari berbagai lapisan masyarakat, yang berstatus sosial rendah sampai lapisan menengah dan lapisan yang lebih tinggi.[17]
b.    Ajaran Dasar Thariqah Naqsyabandiyah al-Khalidiyah
Seperti tarekat-tarekat yang lain, tarekat Naqsyabandiyyah pun mempunyai sejumlah tata cara peribadatan, teknik spiritual, dan ritual tersendiri, yaitu:
1.    Asas-asas
Inti ajaran dasar Thariqah Naqsyabandiyah terdiri dari sebelas asas sebagaimana dirumuskan oleh Syekh Abdul Khâliq Ghujdwani, sedangkan 3 asas lainnya adalah penambahan oleh Muhammad Bahâ’ al-Dîn Naqsyabandi, sebagai berikut;
a.    Hush dan dam, artinya seorang sufi haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas dan ketika berhenti sebentar diantara keduanya.
b.    Nazhar bar qadam, artinya seorang murid haruslah menjaga langkah sewaktu berjalan dan memandang ke depan sewaktu duduk agar tujuan rohaninya tidak dikacaukan  oleh segala hal di sekelilingnya.
c.    Safar dar wathan, artinya melakukan perjalanan batin, yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia.
d.   Khalwat dar anjuman, artinya menyibukkan diri dengan terus menerus membaca dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya sekalipun sewaktu berada dalam keramaian.
e.    Yâ dakrad, artinya terus menerus mengulangi nama Allah baik dalam hati maupun lisan agar dalam hati bersemayam kesadaran akan Allah secara permanen.
f.     Bâz Gasht, artinya kembali  dengan mengucapkan kalimat yang mulia Ilâhî anta maqshûdî wa ridhaka mahlûbî (Ya Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon  dan keridhaan-Mu-lah yang kuharapkan).
g.   Nigâh Dasyt, artinya waspada, dengan pengertian menjaga pikiran dan perasaan terus menerus sewaktu melakukan dzikir tauhid untuk mencegah pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang tetap akan Tuhan dan untuk memelihara pikiran serta perilaku seseorang agar sesuai dengan makna kalimat tersebut.
h.   Yâd Dasyt, artinya mengingat kembali dengan pengertian menangkap secara langsung Dzat Allah melalui penglihatan yang diberkahi. Tahap ini hanya dapat ditempuh oleh orang yang sudah mencapai derajat rohani tertinggi.[18]
Adapun tiga asas lainnya yang berasal dari Syaikh Baha’ al-Din Naqsyabandi adalah:
a.    Wuquf zamani, “memeriksa penggunaan waktu”, yaitu orang yang bersuluk senantiasa selalu mengamati dan memerhatikan dengan teratur keadaan dirinya setiap dua atau tiga jam sekali.
b.   Wuquf ‘adadi, “memeriksa hitungan zikir”, yakni dengan penuh hati-hati (konsentrasi penuh) memelihara bilangan ganjil pada zikir nafi-itsbât, 3 atau 5 samapai 21 kali.
c.    Wuquf qalbi, “menjaga hati tetap terkontrol”. Kehadiran hati serta kebenaran tiada yang tersisa, sehingga perhatian seseorang secara sempurna sejalan dengan zikir dan maknanya.[19]
2.    Dzikir dan wirid
Teknik dasar Naqsyabandiyyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya adalah dzikir, yaitu berulang-ulang menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimah la ilaha illallah. Tujuan latihan itu adalah untuk mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Tarekat Naqsyabandiyyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, “dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (jahri) yang lebih disukai tarekat-tarekat lain.
Dua dzikir dasar Naqsyabandiyyah adalah dzikir ism al-dzat, “mengingat nama Yang Haqiqi ” dan dzikir tauhid, “mengingat keesaan”. Yang pertama terdiri dari pengucapan nama Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sembari memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafiw wa itsbat) terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimah la ilaha illallah, yang dibayangkan seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh.
Dzikir yang lebih tinggi tingkatannya adalah dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh, yaitu qalb (hati), ruh (jiwa), sirr (nurani terdalam), khafi (kedalaman tersembunyi), akhfa (kedalaman paling tersembunyi), nafs nathiqah (akal budi) dan lathifah ketujuh kull jasad sebetulnya tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh.[20]
Dengan memperbanyak dzikir seseorang akan merasakan ketenangan hidup yang luar biasa, dikarenakan selalu mengingat Dzat yang telah menciptakan manusia, dengan demikian seseorang akan selalu menggantungkan segala urusan hidupnya hanya kepada Allah semata dan menyadari bahwa Allah lah satu-satunya Dzat yang mampu memberikan pertolongan kepada umat manusia. Sebagaimana dalam firman Allah QS ar-Ra’d ayat 28:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä ûÈõuKôÜs?ur Oßgç/qè=è% ̍ø.ÉÎ/ «!$# 3 Ÿwr& ̍ò2ÉÎ/ «!$# ûÈõyJôÜs? Ü>qè=à)ø9$# ÇËÑÈ
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, Hanya dengan mengingati Allah-lah hati menjadi tenteram”.[21]
Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir, pembacaan aurad (tunggalnya wird) meskipun tidak wajib, sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formul-formula untuk memuja Tuhan dan/atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan manfaat.
3.    Muraqabah
Ada kategori latihan-latihan lainnya, yang hanya diajarkan kepada murid yang tingkatannya lebih tinggi, biasanya hanya kepada mereka yang telah menguasai dzikir pada semua lathaif. Latihan ini disebut muraqabah, “pengendalian diri”, ini merupakan teknik-teknik konsentrasi dan meditasi.[22]   
4.    Rabithah Mursyid
Rabithah adalah wasilah yang berhubungan dengan perhatian dan kecintaan hati orang yang melakukan Rabithah dengan yang di Rabithahi.[23]
Semua petunjuk agama dalam segi apapun yang telah diperoleh setiap muslim yang hidup sejak zaman Rasulullah sampai sekarang adalah diterima melalui perantaraan guru, bagi para shahabat Nabi, pengetahuan dan petunjuk agama mereka peroleh dari gurunya yakni Rasulullah sendiri, para Tabi’in memperoleh dari para shahabat Nabi, demikian seterusnya sampai pada masa kita ini.
Oleh karena itu peranan Guru Mursyid atau Syekh dalam mewujudkan pelaksanaan syari’at Islam yang dibawa Rasulullah adalah sangat menentukan sebab termasuk salah satu faktor yang mendorong tercapainya tujuan akhir daripada melaksanakan syari’at tersebut sesuai dengan dasar aturan yang sudah ditetapkan oleh Syar’i.
Tetapi jika seorang Islam mengambil ilmu tidak menggunakan lantaran lewat seorang guru Mursyid atau Syekh, maka wajar terjadi penyelewengan terhadap nilai-nilai ajaran Islam. Ia tidak merasa dirinya telah berada di dalam lingkaran kesesatan. Jadi Rabithah dilakukan semata-mata karena Allah, sedikit pun tidak ada unsur-unsur penyembahan kepada guru Mursyid.[24]
5.    Khatm-i Khwajagan
Khatm-i Khwajagan merupakan serangkaian wirid, ayat, shalawat, dan doa yang menutup setiap dzikir berjama’ah. Konon ini disusun oleh ‘Abd Al-Khalq Al-Ghujdawani, dan dianggap sebagai tiang ketiga Naqsyabandiyyah, setelah dzikir ism al-dzat dan dzikir nafiy wa isbat. Pembacaan khatm dipercayai untuk memohon ruh-ruh para syaikh besar dari masa lampau agar membantu mereka yang sedang berkumpul. Khatm dibacakan di tempat yang tidak ada orang luar, dan pintu harus tertutup. Tak seorangpun boleh ikut serta tanpa izin lebih dulu dari sang syaikh. Kecuali itu, para peserta harus dalam keadaan berwudhu.[25]
6.    Tawajjuh
Syaikh atau Mursyid memegang peranan sangat penting demi kemajuan spiritual murid. Ikut sebuah tarekat tanpa mempunyai seorang syaikh adalah mustahil. Sang syaikh membantu murid-muridnya dengan berbagai cara, dengan mengajarkan langsung tetapi juga melalui proses yang disebut tawajjuh. Istilah ini berarti “temu muka”, tetapi dalam lingkungan Naqsyabandiyyah telah memperoleh beberapa arti khusus. Tawajjuh merupakan perjumpaan di mana seseorang membuka hatinya kepada syaikhnya dan membayangkan hatinya itu disirami berkah sang syaikh. Sang syaikh akhirnya membawa hati tersebut ke hadapan Nabi Muhammad Saw.[26]
7.    Bai’at
Bai’at atau talqin adalah janji setia seorang murid kepada gurunya, bahwa ia akan mengikuti apa pun yang diperintahkan oleh sang guru, tanpa “reserve”. Silsilah adalah hubungan nama-nama yang panjang yang menunjukan bahwa sang guru memiliki keterhubungan langsung dengan Nabi Muhammad, melalui perantaraan guru besar tarekat tersebut. Dengan melaksanakan baiat, maka si murid masuk dalam silsilah yang berkesinambungan itu. Sebagai bukti ia telah masuk dalam tarekat tertentu dan boleh mengajarkan apa yang diajarkan dalam tarekat itu.[27]
8.    Khalwat atau Suluk
Suluk pada hakekatnya adalah mengosongkan diri pribadi (jiwa) dari sifatsifat buruk (dari maksiat lahir dan maksiat bathin) dan mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji (dengan taat lahir dan batin).
Jadi pengertian suluk itu pada hakekatnya bukan sekedar untuk mendapatkan nikmat dunia dan akhirat atau untuk memperoleh limpahan-limpahan karunia Allah, atau untuk mendapatkan sorotan Nur Cahaya dan lain-lain, sehingga pada akhirnya kelak akan dapat mengetahui suratan-suratan nasib, semuanya itu bukan. Tetapi suluk bertujuan semata-mata hanya untuk Allah lain tidak. Setiap ahli Tasawwuf atau Thariqat dirinya merasa yakin akan sampai kepada Allah dengan melalui suluk itu.[28] Sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Kahfi ayat 110:
ö@è% !$yJ¯RÎ) O$tRr& ׎|³o0 ö/ä3è=÷WÏiB #Óyrqム¥n<Î) !$yJ¯Rr& öNä3ßg»s9Î) ×m»s9Î) ÓÏnºur ( `yJsù tb%x. (#qã_ötƒ
 uä!$s)Ï9 ¾ÏmÎn/u ö@yJ÷èuù=sù WxuKtã $[sÎ=»|¹ Ÿwur õ8ÎŽô³ç ÍoyŠ$t7ÏèÎ/ ÿ¾ÏmÎn/u #Jtnr& ÇÊÊÉÈ  
Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".[29]

Berdasarkan ayat ini para kaum sufi dan ahli thariqat sama mengerjakan amalan-amalan yang sholeh termasuk di dalamnya adalah amalan suluk dengan cara-cara yang tertentu, antara lain yaitu melakukannya selama 40 hari, 20 hari dan 10 hari.



[1] Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliyah........... hlm. 11.
[2] Amin Syukur, Tasawuf Sosial........ hlm. 33.
[3] Imron Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat (Naqsyabandiyah) (Kudus: Menara, 1980), hlm. 11.
[4] Saifuddin Zuhri, Tarekat Syadziliyah........... hlm. 12.
[5] Moh. Adlin Sila, dkk., Sufi Perkotaan: Menguak Fenomena Spiritualitas di Tengah Kehidupan Modern (Jakarta: Balai Penelitian dan Pengembangan Agama, 2007), hlm. 3.
[6] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya......... hlm. 573.

[7] Imron Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat (Naqsyabandiyah)…….. hlm. 14-15.
[8] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya......... hlm. 423.
[9] Imron Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat (Naqsyabandiyah)……..hlm.
[10] Ibid., hlm. 14-17.
[11] Fadhlalla Haeri, Jenjang-jenjang Sufisme (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), hlm. 41.
[12] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah........ hlm. 89.

[13] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat: Tradisi-tradisi Islam di Indonesia (Bandung: Mizan, 1995), hlm. 104.
[14] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia: Survei Historis, Geografis, dan Sosiologis (Bandung: Mizan, 1992), hlm. 66-67.
[15] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah........ hlm. 91-92.
[16] Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat........... hlm. 334-335.
[17] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah........ hlm. 102.
[18] Amin Syukur, Tasawuf Kontekstual: Solusi Problem Manusia Modern (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2003), hlm. 55-57.
[19] Sri Mulyati, Mengenal dan Memahami Tarekat-Tarekat Muktabarah........ hlm. 105.
[20] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.......... hlm. 80-81.
[21] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya......... hlm. 252.

[22] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.......... hlm. 82.
[23] Imron Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat (Naqsyabandiyah)…….. hlm. 56.
[24] Ibid., hlm. 66-67.
[25] Martin van Bruinessen, Tarekat Naqsyabandiyah di Indonesia.......... hlm. 85-86.
[26] Ibid., hlm. 86.
[27] Ahmad Najib Burhani, Tarekat Tanpa Tarekat............ hlm. 37.
[28] Imron Abu Amar, Sekitar Masalah Thariqat (Naqsyabandiyah)…….. hlm. 50.
[29] Kementerian Agama RI, Al-Qur’an Tajwid dan Terjemahnya......... hlm. 304

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »