GURU DAN MOTIVASI BELAJAR BAGI ANAK TUNA GRAHITA



GURU DAN MOTIVASI BELAJAR BAGI ANAK TUNA GRAHITA

 

A.    PENDAHULUAN 

Guru merupakan faktor yang penting dalam melaksanakan proses pembelajaran, karena guru merupakan sumber daya manusia (SDM) yang menjadi perencana, pelaku dan penentu tercapainya tujuan organisasi.  Di samping itu guru akan berhadapan langsung dengan siswa sehingga berhasil tidaknya dalam melaksanakan proses pendidikan sangat dipengaruhi oleh guru dan sangat tergantung kepada peran yang dimainkan oleh guru (Syarifuddin, 2002: 67).

Menurut Prey Katz yang dikutip oleh Sardiman dalam bukunya Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar  mengemukakan bahwa guru mempunyai peranan sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasehat-nasehat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan pembimbing dalam pengembangan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai orang yang menguasai bahan yang diajarkan (2002: 141).

Peranan guru sebagai motivator ini penting artinya dalam rangka meningkatkan kegairahan dan pengembangan kegiatan belajar siswa (Sardiman, 2001: 143).  Khususnya dalam memotivasi belajar siswa agar siswa menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah SWT dan berakhlak mulia serta dapat meningkatkan potensi moral dan spiritual yang ada dalam diri siswa.  Dalam hal ini adalah peserta didik yang kecerdasannya berada di bawah rata-rata yaitu anak tunagrahita.

Mendapatkan pendidikan merupakan hak dan kewajiban setiap warga negara Indonesia tidak terkecuali anak-anak berkebutuhan khusus (tunagrahita).  Anak tunagrahita dikenal juga dengan istilah terbelakang mental karena keterbatasan kecerdasannya mengakibatkan dirinya sukar untuk mengikuti program pendidikan  di sekolah biasa secara klasikal.  Oleh karena itu anak terbelakang mental membutuhkan layanan pendidikan secara khusus yakni disesuaikan dengan kemampuan anak tersebut (Sutjihati Soemantri, 2006: 103).

Potensi yang dimiliki antara anak normal dengan anak berkebutuhan khusus (tunagrahita) itu berbeda-beda. Oleh karena rendahnya intelektual dan keterbelakangan mental yang dimiliki anak tunagrahita tersebut sehingga mereka memerlukan adanya motivasi dari seorang guru dalam belajar.  Motivasi memiliki posisi penentu bagi kegiatan hidup manusia dalam usaha mencapai cita-cita, tanpa motivasi proses belajar tidak akan berjalan dengan baik.

Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual.  Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar (Sardiman A.M, 2001: 73).

Dengan demikian motivasi belajar memegang  peranan penting dalam memberikan semangat belajar sehingga siswa akan memacu motivasi dan energinya untuk belajar, sebab terkadang suatu proses belajar mengajar tidak dapat mencapai hasil yang maksimal oleh karena ketidakkuatan daya pendorong (motivator).


B.     PEMBAHASAN

1.      Guru

a.      Pengertian Guru

Pengertian guru secara umum merupakan orang yang tugas dan pekerjaannya mengajar atau menyampaikan pelajaran.  Guru disebut juga pendidik karena di samping mengajar, ia juga bertugas mendidik dalam rangka pembentukan pribadi anak didiknya.  Uzer Usman menyatakan bahwa guru adalah profesi, artinya suatu jabatan yang memerlukan keahlian khusus sebagai guru.  Pekerjaan ini semestinya tidak dapat dilaksanakan oleh guru di luar bidang pendidikan (Uzer Usman, 1998: 5).

Sardiman A.M mengemukakan bahwa guru adalah salah satu komponen manusiawi dalam proses belajar mengajar dan ikut berperan dalam usaha pembentukan sumber daya manusia yang potensial di bidang pembangunan (Sardiman, A.M, 1996: 123).

Guru dalam pandangan masyarakat adalah orang yang melaksanakan pendidikan di tempat-tempat tertentu, tidak mesti di lembaga pendidikan formal, tetapi bisa juga di masjid, di surau atau musholla, di rumah dan sebagainya (Syaiful Bahri Djamarah, 2000: 31).

Dari pengertian-pengertian guru di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang yang mempunyai tugas mengajar orang lain secaa individu maupun kelompok atau klasikal  pada lembaga pendidikan formal maupun non formal.


b.      Syarat-syarat Guru

Jabatan guru sebagai profesi adalah suatu jabatan (pekerjaan) yang membutuhkan keahlian khusus di bidang keguruan.  Untuk itu harus memiliki syarat-syarat tertentu.

Dalam kitab “Ta’limul Muta’alim disebutkan bahwa:

وامّااختيا رالاستاذ, فينبغى ان يختار الاعلم والاورع والاسنّ, كمااختارابو حنيفة حينئذ حمّادبن ابى سليمان بعد التّأمّل والتّفكّر

(Syekh Ibrahim bin Ismail, 2006: 13)

“Dalam memilih guru hendaklah mengambil yang lebih alim, wara’ dan juga lebih tua usianya.  Sebagaimana Abu Hanifah setelah lebih dahulu memikir dan mempertimbangkan lebih lanjut, maka menentukan pilihannya kepada tuan Hammad bin Abu Sulaiman.

 

Ahmad Tafsir dalam bukunya Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam yang mengutip pendapat Soedjono (1982: 63-65) menyatakan bahwa syarat guru adalah sebagai berikut:

1)      Tentang umur, harus sudah dewasa

Tugas mendidik adalah tugas yang amat penting karena menyangkut perkembangan seseorang.  Oleh karena itu tugas harus dilakukan secara bertanggung jawab.  Itu hanya dapat dilakukan oleh orang yang telah dewasa, anak-anak tidak dapat dimintai pertanggung jawaban.

2)      Tentang kesehatan, harus sehat jasmani dan rohani

Jasmani yang tidak sehat dapat membahayakan anak didik bahkan apabila mempunyai penyakit yang menular.  Dari segi rohani, orang gila atau orang idiot berbahaya juga bila ia mendidik.

3)      Tentang kemampuan mengajar, ia harus ahli

Ini penting sekali bagi pendidik termasuk guru.  Dengan pengetahuannya diharapkan akan lebih mempunyai kemampuan dalam mengajar.

4)      Harus berkesusilaan dan berdedikasi tinggi

Syarat ini amat penting untuk melaksanakan tugas-tugas mendidik selain mengajar.  Dimana guru akan memberikan contoh-contoh kebaikan bagi peserta didiknya.  Dedikasi tinggi tidak hanya diperlukan dalam mendidik selain mengajar, dedikasi tinggi diperlukan juga dalam meningkatkan mutu  mengajar (2004: 80).

Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif mengutip pendapat Zakiah Daradjat dan kawan-kawan (1992: 41) menyatakan bahwa menjadi  guru tidak sembarangan, tetapi harus memenuhi beberapa persyaratan seperti di bawah ini :

1)      Takwa kepada Allah SWT

Guru, sesuai dengan tujuan ilmu pendidikan Islam, tidak mungkin mendidik anak didik agar bertakwa kepada Allah, jika ia sendiri tidak bertakwa kepada-Nya.  Sebab guru adalah teladan bagi anak didiknya sebagaimana Rasulullah SAW menjadi teladan bagi umatnya.  Sejauhmana seorang guru mampu memberi teladan yang baik kepada semua anak didiknya, sejauh itu pulalah ia diperkirakan akan berhasil mendidik mereka agar menjadi generasi penerus  bangsa yang baik dan mulia.

2)      Berilmu

Ijazah bukan semata-mata secarik kertas tetapi merupakan suatu bukti bahwa pemiliknya telah mempunyai ilmu pengetahuan dan kesanggupan yang diperlukan untuk suatu jabatan.

Guru pun harus mempunyai ijazah agar ia diperbolehkan mengajar, kecuali dalam keadaan darurat misalnya jumlah peserta didik meningkat sedangkan jumlah guru tidak mencukupi, maka terpaksa menerima guru yang belum berijazah, tetapi dalam keadaan normal ada patokan bahwa makin tinggi pendidikan guru makin baik pendidikan dan pada gilirannya nanti makin tinggi pula derajat masyarakat.

3)      Sehat Jasmani

Kesehatan jasmani kerap kali dijadikan salah satu syarat bagi mereka yang melamar untuk menjadi guru, misalnya guru yang mengidap penyakit menular, sangat membahayakan kesehatan anak didik, guru yang berpenyakit tidak akan bergairah mengajar sehingga akan mempengaruhi semangat bekerja.

4)      Berkelakuan baik

Budi pekerti guru penting dalam pendidikan watak anak didik.  Guru harus menjadi teladan karena anak bersifat suka meniru kepada diri pribadi anak didik dan ini hanya mungkin bisa dilakukan jika pribadi guru berakhlak pula.  Di antara akhlak mulia yang harus dimiliki oleh guru adalah mencintai jabatannya sebagai guru., bersikap adil kepada semua anak didiknya, berlaku sabar dan tenang, berwibawa, gembira, bersifat manusiawi, bekerja sama dengan guru-guru lain serta bekerja sama dengan masyarakat (2000: 32-33).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat penulis pahami bahwa untuk menjadi guru syarat yang harus dimiliki adalah ada tidaknya syarat yang bersifat formal (pengetahuan dan keterampilan mengajar) saja tetapi juga kondisi dari dalam dan luar pribadi seperti sehat jasmani dan rohani (psikis, fisik, religiusitas dan moralitas).

c.       Peran Guru

Lembaga pendidikan akan berusaha untuk mencapai hasil yang optimal jika sekolah tersebut terisi oleh guru yang bermutu dan berpredikat tinggi serta layak untuk mengajar.  Memang benar sejatinya guru adalah orang pertama yang harus bertanggung jawab atas kewenangannya dalam memajukan mutu pendidikan.

Peran guru menurut beberapa pendapat sebagaimana  dikutip Sariman A.M, di antaranya: menurut Prey Katz menggambarkan peranan guru sebagai komunikator, sahabat yang dapat memberikan nasihat-nasihat, motivator sebagai pemberi inspirasi dan dorongan, pembimbing dalam mengembangkan sikap dan dorongan, pembimbing dalam mengembangkan sikap dan tingkah laku serta nilai-nilai, orang yang menguasai bahan yang akan diajarkan (Sariman AM, 2000: 141).

Menurut Uzer Usman peranan guru adalah serangkaian tingkah laku yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi yang saling berkaitan yang dilakukan dalam situasi tertentu serta berkembang dengan kemajuan dan perkembangan siswa yang menjadi tujuannya (1997: 4).

Dari pengertian di atas seorang guru sebagai tenaga profesional dituntut untuk selalu berperan  aktif dan menerapkan kedudukannya sesuai dengan tugasnya.

d.      Tugas Guru

Jabatan guru memiliki banyak tugas, bukan hanya di sekolah saja tetapi bisa dilakukan dimana saja berada.  Di rumah, guru sebagai orang tua dan pendidik bagi putra-putranya.  Di dalam masyarakat guru sering kali  terpandang sebagai suri tauladan bagi orang-orang di sekitarnya, baik dalam sikap dan perbuatannya, misalnya cara dia berpakaian, berbicara, bergaul maupun tentang pandangannya, pendapatnya seringkali menjadi ukuran atau pedoman kebenaran bagi orang-orang di sekitarnya karena dianggap guru memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam tentang berbagai hal.

Menurut Peters yang dikutip oleh Nana Sudjana (1987: 15)  mengemukakan ada tiga tugas pokok profesi guru yaitu guru sebagai pengajar, guru sebagai pembimbing dan guru sebagai administrator kelas.

1)      Guru sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan dan melaksanakan pengajaran.  Dalam tigas ini guru dituntut memiliki seperangkat pengetahuan dan keterampilan teknis mengajar, di samping menguasai ilmu dan bahan yang akan diajarkan.

2)      Guru sebagai pembimbing  memberi tekanan kepada tugas, memberikan bantuan kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya.

3)      Guru sebagai administrator kelas pada hakikatnya merupakan jalinan antara ketatalaksanaan pada umumnya.

Selain tugas-tugas di atas, guru di sekolah juga harus dapat menjadikan dirinya seorang orang tua kedua.  Ia harus mampu menarik simpati sehingga menjadi idola para siswanya.  Pelajaran apapun yang disampaikannya, hendaknya dapat menjadikan motivasi bagi siswanya dalam belajar.  Karena bila guru dalam penampilannya kurang menarik, maka kegagalan pertama adalah ia tidak dapat mentransformasikan pelajaran itu pada para siswanya sehingga siswa akan enggan dan bosan menghadapi guru yang tidak menarik.


2.      Motivasi Belajar Bagi Anak Tunagrahita

a.      Motivasi Belajar

1)      Pengertian Motivasi Belajar

Kata “motif” diartikan sebagai daya upaya yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu.  Berawal dari kata “motif” itu, maka motivasi dapat diartikan sebagai daya penggerak yang telah menjadi aktif (Sardiman A.M, 2001: 71).

Dalam kegiatan belajar, maka motivasi dapat dikatakan sebagai keseluruhan daya penggerak di dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan belajar, yang menjamin kelangsungan dari kegiatan belajar (Sardiman A.M, 2001: 73).

Dari keterangan di atas, ternyata motivasi memiliki posisi penentu bagi kegiatan hidup manusia dalam usaha mencapai cita-cita.  Oleh karena itu tanpa motivasi, proses belajar tidak akan berjalan dengan baik.

Motivasi belajar merupakan faktor psikis yang bersifat non intelektual.  Peranannya yang khas adalah dalam hal penumbuhan gairah, merasa senang dan semangat untuk belajar (Sardiman A.M, 2001: 73).  Sedangkan menurut W.S. Winkel menjelaskan bahwa, motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis di dalam diri siswa yang menumbuhkan kegiatan belajar, menjamin kelangsungan kegiatan belajar dan memberikan arah kepada kegiatan untuk mencapai tujuan belajar (1987: 92).

Dengan demikian, motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan semangat belajar sehingga siswa akan memacu motivasi dan energinya untuk belajar, sebab kadang-kadang suatu proses belajar mengajar tidak dapat mencapai hasil yang maksimal oleh karena ketidak kuatan daya pendorong (motivasi).

2)      Fungsi motivasi belajar

Tanpa adanya motivasi (dorongan) usaha seseorang tidak akan mencapai hasil yang baik, begitu juga sebaliknya.  Demikian juga dalam hal belajar, belajar akan lebih baik jika selalu disertai dengan motivasi yang sungguh-sungguh.  Maka tidaklah mengherankan apabila ada seseorang yang mampu mencapai prestasi sesuai dengan yang diharapkan.

Dalam proses belajar mengajar, motivasi mempunyai peran dan fungsi yang sangat penting.  Di antara fungsi motivasi belajar adalah:

a)      Mendorong manusia untuk bertindak atau berbuat, jadi berfungsi sebagai penggerak atau sebagai motor yang memberikan energi atau kekuatan kepada seseorang untuk melakukan suatu tugas.

b)      Menentukan arah perbuatan, yakni ke arah perbuatan suatu tujuan dan cita-cita.

c)      Menyeleksi perbuatan, menentukan perbuatan mana yang harus dilakukan, yang sesuai guna mencapai tujuan (Ngalim Purwanto, 1995: 70-71).

Berdasarkan uraian tersebut di atas maka dapat diketahui bahwa fungsi motivasi dalam belajar itu di samping memberikan dan menggugat minat dan semangat dalam belajar siswa, juga akan membantu siswa untuk memilih jalan atau tingkah laku yang mendukung pencapaian tujuan belajar maupun tujuan hidupnya.

3)      Macam-macam motivasi belajar

Kebanyakan para ahli membagi motivasi menjadi dua tipe umum yang kemudian lebih dikenal dengan motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.

a)      Motivasi intrinsik

Motivasi intrinsik adalah motif-motif yang menjadi aktif atau berfungsinya tidak perlu dirangsang dari luar, karena dalam diri setiap individu sudah ada dorongan untuk melakukan sesuatu (Sardiman A.M, 2001: 87).

Di sini individu bertingkah laku karena mendapatkan energi dan pengaruh yang tidak dapat dilihat, karena sumber pendorong individu tersebut untuk bertingkah laku berasal dari dalam dirinya.

b)      Motivasi ekstrinsik

Motivasi ekstrinsik adalah motif-motif yang aktif dan berfungsinya karena adanya perangsang dari luar (Sardiman A.M, 2001: 88).

Dalam belajar, siswa memerlukan perhatian dan pengarahan yang khusus dari guru, seringkali jika mereka tidak menerima umpan balik yang baik, berkenaan dengan hasil maka mereka akan menjadi lambat atau mereka menjadi malas belajar. 

4)      Upaya meningkatkan motivasi belajar

Menurut De Decce dan Grawford (1974) sebagaimana dikutip Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Psikologi Belajar mengungkapkan bahwa ada empat fungsi guru sebagai pengajar yang berhubungan dengan cara pemeliharaan  dan peningkatan motivasi belajar anak didik antara lain:

a)      Menggairahkan anak didik

Dalam kegiatan pembelajaran guru harus berusaha menghindari hal-hal yang monoton dan membosankan.  Guru harus selalu memberikan kepada anak didik cukup banyak hal-hal yang perlu dipikirkan dan dilakukan (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 135).

b)      Memberikan harapan realitas

Guru harus memelihara harapan-harapan anak didik yang realitas dan memodifikasi harapan-harapan yang kurang atau tidak realitas.  Bila anak telah banyak mengalami kegagalan untuk guru harus memberikan sebanyak mungkin keberhasilan kepada anak didik (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 135).

c)      Memberikan insentif

Adanya karakteristik tujuan menyebabkan seseorang bertingkah laku untuk mencapai tujuan tersebut.  Tujuan yang menyebabkan seseorang bertingkah laku tersebut disebut insentif.  Insentif dalam pembelajaran PAI tidak selalu berupa materi, tetapi bisa berupa nilai atau penghargaan sesuai kadar kemampuan yang dapat dicapai siswa (Muhaimin, 2002: 139).

d)     Mengarahkan perilaku anak didik

Mengarahkan perilaku anak didik adalah tugas guru dituntut untuk memberikan respon terhadap anak didik yang tak terlibat langsung dalam perilaku anak didik adalah dengan memberikan penugasan, bergerak mendekati dengan sikap lemah lembut dan dengan perkataan yang ramah dan baik (Syaiful Bahri Djamarah, 2002: 136).

b.      Anak Tunagrahita

1)      Pengertian Anak Tunagrahita

Tunagrahita adalah istilah yang digunakan untuk menyebut anak yang mempunyai kemampuan intelektual di bawah rata-rata (Sutjihati Somantri, 2006: 103).

Dalam buku Abnormal Psychology and Modern Life karangan James C. Coleman dan James N. Butcher mengungkapkan:

“The American Association of Mental Deficiency (AMMD) has defined mental retardation exiting concurrently sub average general intellectual functioning existing concurrently with deficits in adaptive behavior, and manifested during the developmental period” (1980: 467).

 

AAMD mendefinisikan retardasi mental adalah “keterbelakangan mental menunjukkan fungsi intelektual di bawah rata-rata secara jelas dengan disertai ketidakmampuan dalam penyesuaian perilaku dan terjadi pada masa perkembangan”

Dari kedua definisi anak tunagrahita di atas  dapat disimpulkan bahwa anak tunagrahita adalah sebutan untuk anak yang memiliki IQ di bawah normal, oleh karena itu anak tunagrahita memerlukan penanganan khusus termasuk dalam bidang pendidikan karena mereka memiliki kesulitan dalam tugas akademik, komunikasi maupun sosial.

2)      Klasifikasi Anak Tunagrahita

Klasifikasi anak tunagrahita pada umumnya didasarkan pada taraf intelegensinya, yaitu sebagai berikut:

a)      Tunagrahita Ringan (debil atau maron)

Tunagrahita ringan adalah anak tunagrahita yang memiliki IQ 50-75, mereka mampu dididik tetapi tidak mampu mengikuti pendidikan pada program sekolah biasa (Mohammad Effendi, 2006: 90).

Dengan bimbingan dan pendidikan yang baik tunagrahita ringan pada saatnya akan memperoleh penghasilan untuk dirinya sendiri dan dapat hidup mandiri.

b)      Tunagrahita Sedang (imbecil)

Tunagrahita sedang atau mampu latih adalah anak yang memiliki IQ 25-50, mereka hanya mampu dilatih untuk mengurus diri sendiri melalui aktivitas kehidupan sehari-hari (Mohammad Efendi, 2006: 90)

c)       Tunagrahita Berat (idiot)

Tunagrahita berat (idiot) atau mampu rawat memiliki IQ 0-25.  mereka tidak mampu mengurus diri sendiri atau sosialisasi.  Untuk mengurus kebutuhan diri sendiri sangat membutuhkan orang lain.  Dengan kata lain, anak tunagrahita berat atau mampu rawat ini merupakan anak tunagrahita yang membutuhkan perawatan sepenuhnya sepanjang hidupnya, karena ia tidak mampu terus hidup tanpa bantuan orang lain (Mohammad Effendi, 2006: 90).

 

3.      Hubungan Antara Upaya Guru dan Motivasi Belajar Bagi Anak Tunagrahita

Anak tunagrahita pada setiap tahap perkembangannya selalu mengalami kendala sehingga seringkali tampak sikap atau perilaku anak tunagrahita berada di bawah usia kalendernya.  Keterlambatan perkembangan tersebut disebabkan karena taraf kecerdasan sangat rendah.

Dalam permasalahan pendidikan anak, kita tidak boleh membedakan antara anak yang normal perkembangan jasmani dan rohaninya, dengan anak yang mengalami kelemahan mental atau sering disebut tunagrahita.

Kesempatan yang menjadi manusia  mulia sebagai orang yang bertakwa diberikan kepada semua manusia, baik kaya, miskin, cacat atau tidak, semuanya sama di hadapan Allah.  Sebagai warga negara, anak-anak tunagrahita tidak didiskriminasikan untuk memperoleh pendidikan.  Kelainan ini menjadi penting untuk diperhatikan dalam pemberian layanan pendidikan dan pengajaran anak tunagrahita adalah selain adanya motivasi dari orang tua juga adanya motivasi dari guru.

Motivasi belajar dari guru merupakan salah satu bentuk nyata pentingnya peran guru dalam pendidikan anak tunagrahita.  Motivasi belajar pada anak tunagrahita merupakan salah satu bentuk penyesuaian diri terhadap lingkungan belajarnya, sehingga secara tidak langsung anak tunagrahita juga memiliki kemampuan menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial yang lebih luas.

Menurut Sardiman motivasi belajar adalah  merupakan faktor psikis yang bersifat intelektual, yang mempunyai peran menumbuhkan gairah merasa senang dan semangat untuk belajar pada siswa.  Dengan demikian dapat dikatakan bahwa keberhasilan dalam belajar tidak semata ditentukan oleh intelegensi seseorang, tetapi ada faktor lain yaitu faktor non intelegensi yang di anaranya adalah faktor motivasi.

C.    KESIMPULAN

Dari uraian di atas, diambil kesimpulan bahwa guru mempunyai peranan penting dalam bidang pendidikan, salah satu peranan guru dalam kegiatan pembelajaran adalah sebagai motivator. Dalam hal ini guru harus mampu meningkatkan kegiatan atau merangsang dan memberikan dorongan kepada siswa agar mempunyai semangat dalam belajar, khususnya dalam proses kegiatan pembelajaran pada anak tunagrahita yang memiliki kondisi mental yang berbeda dari anak (siswa) normal. Oleh karena itu, sangatlah penting bagi guru untuk memberikan dorongan atau rangsangan agar mereka mempunyai semangat dan minat dalam belajar.

Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan guru dalam meningkatkan motivasi belajar di antaranya adalah menggairahkan anak didik, memberikan harapan, memberikan insentif dan mengarahkan perilaku anak didik.


DAFTAR PUSTAKA

 


Ahmad Tafsir, 2004, Ilmu Pendidikan Dalam Perspektif Islam, Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

James C. Coleman dan James N. Butcher, 1980, Abnormal Pscycology and Modern Life, United States of America: Scott, Foressman and Company.

 

Mohammad, Effendi, 2006, Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan, Jakarta: Bumi Aksara.

 

Moh. Uzer Usman, 1998, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Muhaimin, 2002, Paradigma Pendidikan Islam (Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah), Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Nana Sudjana, 1987, Dasar-dasar Proses Belajar Mengajar, Bandung: Sinar Bumi.

 

Ngalim Purwanto, 1995, Psikologi Pendidikan, Bandung: Remaja Rosdakarya.

 

Sardiman A.M, 1996, Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, Jakarta: Raja Grafindo Persada.

 

Sitjihati Somantri, 2006, Psikologi Anak Luar Biasa, Bandung: Refika Aditama.

Syafrudin Nurdin, 2002, Guru Profesional dan Implementasi Kurikulum, Jakarta: Ciputat Press.

Syaiful Bahri Djamarah, 2000, Guru dan Anak Didik dalam Interaksi Edukatif, Jakarta: Rineka Cipta.

_____________________, 2002, Psikologi Belajar, Jakarta: Rineka Cipta.

Syekh Ibrahim bin Ismail, 2006, Ta’limul Mu’talim, Surabaya: Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.

Winkel, 1987, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »